Hak Sipil & Politik
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena
itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b. bahwa
bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional,
menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia;
c. bahwa
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16
Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik);
d. bahwa
instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada
dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara
Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua
warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk
secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Mengingat :
1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal
28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
4. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
5. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL
COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL
TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLlTIK).
Pasal 1
(1) Mengesahkan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1.
(2) Salinan
naskah asli International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan
Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia,
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 119
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)
I. UMUM
1. Sejarah
Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik
Pada
tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of
Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk
selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum
hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya
pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara
universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota
PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada
di bawah yurisdiksi mereka.
Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan
kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen
internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan
hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi
Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan
DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan
tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun
1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang
menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta
kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung.
Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU
PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan
tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan
politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU
PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus
memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat Pasal
yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.
Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai
dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan
1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada tahun
1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas mungkin agar
pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan
khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan
tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan
naskah Kovenan itu Pasal demi Pasal mulai tahun 1955. Meskipun
pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua
Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada
tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), MU PBB
mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama
dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan
Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Kovenan Internasionaf tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik mulai berfaku pada tanggal 23 Maret 1976.
2. Pertimbangan
Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant on
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik)
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat
penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan
(Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di
dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga
negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal
27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara
(Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas
pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).
Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut
meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara
kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15
Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat
sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan
kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan
Pasal 33).
Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus
1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung
tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS
RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5
Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah
untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan
sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang
bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping
komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950,
Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan
dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan keputusan
Pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi perburuhan
yang dihasilkan oleh International Labour Organization
(Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang
Dunia II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah
Belanda, menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat oleh
Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan
mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni
Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi
tentang Hak-hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor
68 Tahun 1958.
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya pemajuan dan
perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya
tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan
oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan pemajuan dan,
perlindungan HAM akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi
masyarakat luas dan tidak memberikan landasan yang sehat bagi
pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang.
Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah
membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi
terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk
menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM
melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan
dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan
ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28
September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial).
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan dan
perlindungan HAM, yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat "Pandangan dan
Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka
I) dan "Piagam Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka II).
Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan,
antara lain, "bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan
hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara" (huruf b) dan "bahwa bangsa Indonesia
sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia
yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia" (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR
tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia" (Lampiran IB angka
2).
Sebagaimana diketahui bahwa DUHAM 1948, Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya adalah
instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM dan yang lazim
disebut sebagai "International Bill of Human Rights"
(Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan
instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan
perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan dalam
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan dalam
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan dalam
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua
Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap
upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan
ketentuan-ketentuan penting dari instrumen-instrumen internasional
mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi
Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan
keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta
komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu
mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM,
khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
3. Pokok-pokok
Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik
yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang
mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain
yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan
Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.
Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan
kewajibannya, menurut Piagam PBB, untuk memajukan dan melindungi
HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja
keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini
dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui
bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan
kemiskinan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi
setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya
maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya.
Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk
negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang
Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan
perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat
penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena
ketika itu masih banyak wilayah jajahan.
Pasal 2 menetapkan kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati
hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan
bahwa pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya
dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan apapun.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 4 menetapkan bahwa dalam keadaan darurat umum yang mengancam
kehidupan bangsa dan keadaan itu diumumkan secara resmi, negara
pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang dari kewajibannya
menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan
situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak
mengakibatkan diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras,
warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama, atau asal usul sosial.
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara,
kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau
melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan
mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih
daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang
dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui
atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi,
peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak
mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia
mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa
tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang
(Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan
atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa
perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang
pun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau
kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau
ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorang
pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi
kewajiban kontraktualnya (Pasal 11).
Selanjutnya Kovenan menetapkan kebebasan setiap orang yang berada
secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan
memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara
manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat
secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya
sendiri (Pasal 12); pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran
orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak (Pasal 13);
persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak
atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang
kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah
bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak
setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan
atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14);
pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan
perundang-undangan pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui
sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16); dan tidak boleh
dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi,
keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17).
Lebih lanjut Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan
berpikir, berkeyakinan dan'beragama serta perlindungan atas hak-hak
tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur
tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat
(Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang
menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang
merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan
atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang
bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan
berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan
usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga,
prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan
bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan
perkawinan (Pasal 23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan
oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, keharusan segera
didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai
nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap warga
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk
memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan
umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25);
persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan
tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa
minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
Pasal 27 merupakan akhir bagian substantif Kovenan ini. Untuk
mengawasi pelaksanaan hak-hak yang termaktub dalam Kovenan ini,
Pasal 28 sampai dengan Pasal 45 menetapkan pembentukan sebuah komite
yang bernama Human Rights Committee (Komite Hak Asasi Manusia)
beserta ketentuan mengenai keanggotaan, cara pemilihan, tata tertib
pertemuan, kemungkinan bagi negara pihak untuk sewaktu-waktu
menyatakan bahwa negara tersebut mengakui kewenangan Komite
termaksud untuk menerima dan membahas komunikasi yang menyatakan
bahwa suatu negara pihak dapat mengadukan tentang tidak dipenuhinya
kewajiban menurut Kovenan oleh negara pihak lain, dan cara kerja
Komite dalam menangani permasalahan yang diajukan kepadanya.
Kovenan kemudian menegaskan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan
Piagam PBB dan konstitusi badan khusus dalam hubungan dengan masalah
yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 46); dan bahwa tidak satu
ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai
mengurangi hak melekat semua rakyat untuk menikmati dan menggunakan
secara penuh dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alamnya (Pasal
47).
Kovenan ini diakhiri dengan Pasal-Pasal penutup yang bersifat
prosedural seperti pembukaan penandatanganan, prosedur yang harus
ditempuh oleh suatu negara untuk menjadi pihak padanya, mulai
berlakunya, lingkup berlakunya yang, meliputi seluruh bagian negara
federal tanpa pembatasan dan pengecualian, prosedur perubahannya,
tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai lembaga penyimpan (depositary)
Kovenan, dan bahasa yang dipergunakan dalam naskah otentik (Pasal 48
sampai dengan Pasal 53).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat(1)
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling terkait.
Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun 1977 (resolusi 32/130
Tanggal 16 Desember 1977), semua hak asasi dan kebebasan dasar
manusia tidak dapat dibagi-bagi dan saling tergantung
(interdependent). Pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan kedua
kelompok hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama.
Pelaksanaan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak sipil dan politik
tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya.
Ayat (2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam
bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam
bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik serta Pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 1
Kovenan ini.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4558
|