Fenomena
Pertumbuhan Kemiskinan Oleh : Patangari
(Abdi) - Divisi Penelitian &
Pengembangan GARDAN
|
Makassar,
23 Januari 2008 |
|
Latar Belakang
Diskusi lama tentang
pertumbuhan dan kemiskinan dikuak kembali. Ini bermula dari pidato kenegaraan
Presiden Yudhoyono di DPR tanggal 16 Agustus 2007 lalu yang menyebut penurunan kemiskinan dari 23,4 persen (1999) menjadi 16 persen (2005).
Kepada pers, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga
menegaskan kemiskinan pasti turun jika
pertumbuhan semakin baik (Kompas, 19/8/2006). Namun, sejumlah pengamat
meragukannya. Pasalnya, 16 persen
bukanlah angka terbaru pascakenaikan harga BBM. Selain itu, angka pembanding lain, yaitu penerima BLT dan raskin, justru menunjukkan bahwa kemiskinan tak menyusut. Jadi, pertumbuhan 5-6 persen
belakangan ini tak punya dampak
serius bagi penciutan angka kemiskinan.
Ada dua kesimpulan yang bertolak belakang soal ini,
yakni apakah pertumbuhan berjalan searah atau berlawanan
dengan kemiskinan. Pustaka 1970-1980-an umumnya sampai
pada kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi tak punya
arti bagi si miskin, malah
membuatnya hidup lebih buruk. Belakangan, literatur 1990-2000-an menunjukkan,
fraksi dan jumlah populasi miskin menyurut ketika pertumbuhan dipacu. Melihat gelagat yang ada,
ke arah kesimpulan
mana fenomena pertumbuhan-kemiskinan di
Indonesia akhir-akhir ini bergerak?
Sesungguhnya sulit
untuk ditarik kesimpulan cepat mengenai relasi pertumbuhan-kemiskinan dengan
basis data yang seketika. Pasalnya, pertumbuhan dan
kemiskinan lebih tepat ditilik sebagai
peristiwa ekonomi jangka panjang. Selain itu, dibutuhkan jeda masa untuk
melihat dampak yang lebih nyata. Porsi populasi miskin yang keluar dari garis
kemiskinan belum tentu bersifat permanen. Sedikit kejutan ekonomi
saja bisa memulangkan mereka ke posisi awal
kemiskinan. Jadi, perlu
ketelitian untuk memastikan dampak nyata pertumbuhan pada penurunan kemiskinan.
Dampak pertumbuhan sendiri bertalian kuat dengan kondisi
distribusi kesejahteraan
yang ada. Manakala pertumbuhan hanya bergelut di lapis massa atas
yang tipis, dapat dipastikan tak ada fraksi populasi
miskin yang menyurut. Dalam distribusi yang timpang, tak ada harapan
bagi kelompok miskin untuk menikmati
pertumbuhan.
Sebaliknya, pendapatan kelompok miskin akan naik
setara dalam pertumbuhan yang proporsional. Data distribusi kesejahteraan
sering kali mengejutkan, karena indeks sekarang
seperti tak memotret realitas. Apa yang bisa
kita tahu ialah ada secuil
elite berlimpah kekayaanentah halal atau
tidakyang hidup di tengah populasi
alit yang kelaparan, berpenyakit,
dan tak terdidik.
bagaimana indikator dan garis
kemiskinan ditetapkan.
Diskusi tentang
kemiskinan selalu subyektif lantaran sulit dibangun patokan obyektif untuk menetapkan indikator dan garis
kemiskinan. Yang menarik, semuanya memproduksi kosakata yang sama,
kemiskinan. Semakin menarik karena semuanya datang dari institusi negara yang diberi nama "Bersatu".
Lantas, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa relasi pertumbuhan-kemiskinan
harus positif atau negatif?
Dalam melihat pertumbuhan kemiskinan yang sampai sekarang masih berlanjut. Dibutuhkan perhatian khusus
baik dari pemerintah maupun kepedulian masyarakat umumnya, tokoh tokoh agama ataupun organisasi organisasi sosial. Di Daerah benteng somba opu Gowa bersama Lembaga Strategis Pemberdayaan Rakyat ( GARDAN ) Saya ( Abdi ), Akbar, Albert dan Maryam mendatangi warga dengan setulus
hati dan bertanya-jawab membuka problem-problem
sosial yang sedang dialami.
Dari beberapa hasil tanya jawab dengan
7 orang warga didesa tersebut diantaranya Erny (Ibu Rumah Tangga/IRT), Yurdana (IRT), Debby (IRT), Meddy
(IRT), Rossalina (IRT), Agustina
(Pensiunan). Kami memperoleh beberapa informasi yang telah kami petakan, yakni :
A.
Kondisi Umum
Di beberapa
tempat dapat dinilai mengalami kemiskinan. Kami melakukan pendampingan di kawasan benteng
Somba Opu di daerah dekat
Kabupaten Gowa. Enam puluh persen
masyarakat di daerah tersebut ( desa ) masih
dikatakan miskin. Kondisi fisik rumah masih
banyak yang berumah batu yang masih sederhana dan sebagian
masih menggunakan rumah panggung. Tingkat pendidikan mereka sekitar kurang lebih 35 % tidak bisa membaca dan
tidak bisa menulis. Hal ini
dari tingkat pendidikan mereka kebanyakan SD dan SMP. Sebaggian besar masyarakat dari kelompok perempuan
yang dari perempuan dewasa dan ibu
ibu rumah tangga menginginkan anak anaknya bisa bersekolah, juga diantaranya kelompok remaja puteri. Melihat kondisi kesehatan
yang masih minim, dikarenakan
kurangnya perhatian pemerintah setempat. Hal ini dapat dilihat
tidak tersedianya PUSTU ( Puskesmas Pembantu
). Letak Rumah Sakit dan
Puskesmas sangat jauh dari rumah
penduduk. Mereka berobat ke rumah
sakit dan puskesmas bagi mereka yang mampu ( mempunyai uang
). Bagi
yang tidak mempunyai uang tidak mampu
berobat karena biaya transfortasi mahal.
B.
Infrastruktur dan Fasilitas Umum
Jalan sebagian
70 % bagus dan sebagian 30 % masih belum di aspal. Penerangan listrik sudah masuk tetapi pengairan
dari PDAM belum masuk, mereka menggunakan
air sumur untuk mandi, dan mencuci
pakaian. Kondisi tempat untuk mandi
cuci kakus ( jamban ) masih
kurang. Sarana pendidikan yang tersedia
adalah gedung Sekolah Dasar Negeri.
Mereka ada yang sekolah di dalam desa
dan di luar
desa. Sarana Kesehatan tidak
ada. Keringanan biaya berobat ada
dalam bentuk SKTM ( Surat Keterangan
Tidak Mampu ). Tetapi beberapa Rumah Sakit tidak mau
menerima pasian yang ada SKTM.
C.
Relasi sosial dan Politik
Warga yang kaya cenderung berperilaku elitis dan tidak
mau membaur dengan warga yang tidak mampu..
Kelompok kaya enggan melaporkan
informasi yang persis karena survei pendapatan
dan konsumsi selalu "mencurigakan" buat mereka. Angka yang mereka laporkan biasanya menceng ke bawah. Orang miskin enggan
memberi informasi tepat karena malu
dianggap miskin; jadi ada bias ke
atas. Tapi bisa juga mereka menceritakan di bawah fakta
sebenarnya, utamanya kalau ada informasi
"latar belakang" mengenai subsidi atau bantuan. Jadi, ada informasi yang menceng ke bawah
juga di kelompok
ini. Lain halnya konflik. Ada konflik tertutup dalam bentuk intrik.
Tapi tidak begitu mencuat
dalam mana menghindari konflik terbuka. Beberapa tokoh masyarakat tidak tahu harus
berbuat apa,
Sedang dirinya sendiri dalam kategorii
miskin. Warga kurang mendapat
sosialisasi RT tentang pendistribusian subsidi atau bantuan secara
adil dan merata. Warga tidak tahu akan struktur yang ada dalam tingkat
RT. Dan tokoh agamapun kurang perhatiannya tentang masalah kemiskinan. Dalam toleransi beragama
cukup solid dan tidak ada konflik
agama Dengan sebagian besarnya warga yang beragama Islam dan Kristen yang berkisar 4 %.
Sesungguhnya sulit
untuk ditarik kesimpulan cepat mengenai relasi pertumbuhan-kemiskinan dengan
basis data yang seketika. Pasalnya, pertumbuhan dan
kemiskinan lebih tepat ditilik sebagai
peristiwa ekonomi jangka panjang. Selain itu, dibutuhkan jeda masa untuk
melihat dampak yang lebih nyata. Porsi populasi miskin yang keluar dari garis
kemiskinan belum tentu bersifat permanen. Sedikit kejutan ekonomi
saja bisa memulangkan mereka ke posisi awal
kemiskinan. Jadi, perlu
ketelitian untuk memastikan dampak nyata pertumbuhan pada penurunan kemiskinan.Dampak pertumbuhan sendiri bertalian kuat dengan kondisi
distribusi kesejahteraan
yang ada. Manakala pertumbuhan hanya bergelut di lapis massa atas
yang tipis, dapat dipastikan tak ada populasi miskin
yang menyurut. Dalam distribusi yang timpang,
tak ada harapan
bagi kelompok miskin untuk menikmati
pertumbuhan.
*****