Text Box: Makassar, 23 Januari 2008
 
 
 

 

Solidaritas Agama Menyikapi Kontradiksi Kehidupan Umat Manusia

 

Oleh Albertus George-Program Officer GARDAN

 

 

 

 

Umat manusia dalam kehidupannya berkewajiban dan mempunyai hak untuk mempertahankan kehidupannya, agar supaya manusia bisa bertahan hidup maka manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya akan makanan tempat tinggal dan pekerjaan.

 

Dalam perkembangan manusia terjadi percepatan perkembangan dalam kemajuan untuk berpikir serta berkembang menciptakan ilmu pengetahuan dan technology yang dipergunakan untuk mengelola bumi beserta kekayaan alam didalamnya. Perkembangan ilmu dalam peradaban manusia menjadikan manusia mengenal akan keuntungan dan kerugian akan ekonomi, cara mengolah suatu nilai angka (matematika), metoda politik sehingga orang berpolitik untuk kepentingannya juga politik untuk berpihak pada rakyat, ilmu membuat norma yang kemudian dikenal dengan ilmu hokum yang kemudian juga dikenal dan dispesifikasi menjadi berbagai macam ilmu.

 

Sejarah manusia yang sudah berkembang dengan berbagai macam ilmu membuat manusia menjadi berkompetisi yang kebanyakan dilakukan dengan cara yang negatif bahkan kebanyakan dilakukan dengan cara tidak sehat menghabisi antara umat (kelompok, suku, etnis) manusia yang satu dengan yang lain, sehingga kelompok yang kalah dalam pertarungan kompetisi menjadi tertindas, dijajah sebagai bangsa budak atau dihabisi, kompetisi tersebut kebanyakan untuk mempertahankan kebutuhan hidup suatu kelompok atau memenuhi hasrat kepentingan dari kelompok dominant untuk menguasai sumber daya alam, pertarungan antar etnis dalam beberapa belahan didunia, kolonialisasi, Perang Dunia dan Globalisasi adalah fakta akan terjadinya pertarungan yang manusiawi dan tidak demokratis.

      

Agama cenderung dikatakan hampir sebagian besar orang meninggalkan kepeduliaannya terhadap kebutuhan umat manusia yang bersifat pokok [kontradiktif] misalkan tempat tinggal, pekerjaan, makanan, hak-hak publik sehingga terkesan bahkan dinilai Agama sudah tidak lagi berpihak pada rakyat, beberapa Nabi dan Rasul sebenarnya mempunyai kepedulian sosial kemudian mengapa Agama pada kenyataannya tidak seperti yang diterapkan oleh Nabi dan Rasul untuk menegakan kebenaran dan membela manusia untuk masalah sosialnya, Problem terminology yang tumpang tindih termasuk tafsir akan teks Agama untuk memahami Agama sebagai alat kepercayaan terhadap Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung dan sebagai alat pembelaan rakyat sehingga yang mengelola Agama mempergunakannya bukan untuk kepentingan umat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, Agama berpihak kepada kekuasaan politik Negara yang tidak adil dan kepentingan ekonomi yang eksploitatif.

 

Tumpang tindih tafsir menyebabkan ada garis penegasan dari imam-imam Katholik yang adalah Tarekat Serikat Jesus (SJ[1]) didukung oleh kelompok-kelompok aktivis Kristen Pro Rakyat yang berada dinegara-negara Amerika Latin membuat suatu konsep bahwa tafsir Agama harus menjadi alat perlindungan umat manusia dan pembelaan umat manusia yang tertindas [umat manusia miskin], tepatnya pada tahun 1969-1970 dua orang Pastor diantaranya P.Segundo Galileo .SJ dan P.Gustavo Guiterres.SJ membuat document theology yang bernama Liberation Theology (Theology Pembebasan) di Nikaragua dan Elsavador yang bertujuan agama harus menjadi spirit pembebasan dan pembelaan bagi umat miskin yang tertindas, selang beberapa tahun kemudian di Pakistan lahir pula konsep Theology Pembebasan Islam karya DR.Asghar Ali Enginer, perdebatan bahwa theology pembebasan bukan hanya milik orang Katholik memang benar bahwa agama dan kepercayaan manapun mempunyai hak untuk menafsirkan suatu pembebasan sepanjang tidak merusak kaidah dan tafsir itu sendiri. Tetapi fakta sejarah dua Imam Katholik tersebut adalah yang pertama kali menggagas dan mempelopory lahirnya Theology Pembebasan.

 

Solidaritas agama akan kontradiksi sosial adalah agama sebagai keyakinan juga mempunyai hak atau dan kewajiban untuk mendekatkan diri lebih nyata dan kongkrit akan kebutuhan sosial umat manusia dalam mencari peluang penyelesaian untuk wujud nyata akan keadilan, pemenuhan akan hak sandang, pangan dan tempat tinggal secara demokratis dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dan Agama harus mampu mencipatakan inovasi atau temuan-temuan metoda dalam menyelesaikan konflik kemiskinan sehingga Agama dapat kembali berperan sebagai fungsi rahmat, berkah, perlindungan bagi semua umat manusia tanpa membedakan status sosialnya sehingga tidak akan terjadi lagi konflik yang beberapa kali dilakukan dengan cara-cara kompetisi yang negatife.                 

 

 


[1] .Tidak semua Tarekat SJ di beberapa negara didunia mempunyai pemahaman atau konsep yang sama  

   dengan SJ yang berada di negara Amerika Latin dari beberapa artikel dan literature bahwa Tarekat SJ di

   Amerika Latin menjadikan TP sebagai prinsip keimaman.

 

***