Solidaritas Agama Menyikapi Kontradiksi Kehidupan Umat Manusia
Oleh Albertus George-Program Officer GARDAN
Umat manusia dalam kehidupannya berkewajiban dan mempunyai
hak untuk mempertahankan kehidupannya, agar supaya manusia bisa bertahan hidup maka
manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya akan makanan tempat tinggal dan
pekerjaan.
Dalam perkembangan manusia terjadi percepatan perkembangan dalam
kemajuan untuk berpikir serta berkembang menciptakan ilmu pengetahuan dan
technology yang dipergunakan untuk mengelola bumi beserta kekayaan alam
didalamnya. Perkembangan ilmu dalam peradaban manusia menjadikan manusia
mengenal akan keuntungan dan kerugian akan ekonomi, cara mengolah suatu nilai
angka (matematika), metoda politik sehingga orang berpolitik untuk
kepentingannya juga politik untuk berpihak pada rakyat, ilmu membuat norma yang
kemudian dikenal dengan ilmu hokum yang kemudian juga dikenal dan dispesifikasi
menjadi berbagai macam ilmu.
Sejarah manusia yang sudah berkembang dengan berbagai macam
ilmu membuat manusia menjadi berkompetisi yang kebanyakan dilakukan dengan cara
yang negatif bahkan kebanyakan dilakukan dengan cara tidak sehat menghabisi
antara umat (kelompok, suku, etnis) manusia yang satu dengan yang lain,
sehingga kelompok yang kalah dalam pertarungan kompetisi menjadi tertindas,
dijajah sebagai bangsa budak atau dihabisi, kompetisi tersebut kebanyakan untuk
mempertahankan kebutuhan hidup suatu kelompok atau memenuhi hasrat kepentingan
dari kelompok dominant untuk menguasai sumber daya alam, pertarungan antar
etnis dalam beberapa belahan didunia, kolonialisasi, Perang Dunia dan
Globalisasi adalah fakta akan terjadinya pertarungan yang manusiawi dan tidak
demokratis.
Agama cenderung dikatakan hampir sebagian besar orang
meninggalkan kepeduliaannya terhadap kebutuhan umat manusia yang bersifat pokok
[kontradiktif] misalkan tempat tinggal, pekerjaan, makanan, hak-hak publik
sehingga terkesan bahkan dinilai Agama sudah tidak lagi berpihak pada rakyat,
beberapa Nabi dan Rasul sebenarnya mempunyai kepedulian sosial kemudian mengapa
Agama pada kenyataannya tidak seperti yang diterapkan oleh Nabi dan Rasul untuk
menegakan kebenaran dan membela manusia untuk masalah sosialnya, Problem
terminology yang tumpang tindih termasuk tafsir akan teks Agama untuk memahami
Agama sebagai alat kepercayaan terhadap Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung dan
sebagai alat pembelaan rakyat sehingga yang mengelola Agama mempergunakannya
bukan untuk kepentingan umat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, Agama berpihak
kepada kekuasaan politik Negara yang tidak adil dan kepentingan ekonomi yang
eksploitatif.
Tumpang tindih tafsir menyebabkan ada garis penegasan dari
imam-imam Katholik yang adalah Tarekat Serikat Jesus (SJ[1])
didukung oleh kelompok-kelompok aktivis Kristen Pro Rakyat yang berada
dinegara-negara Amerika Latin membuat suatu konsep bahwa tafsir Agama harus
menjadi alat perlindungan umat manusia dan pembelaan umat manusia yang
tertindas [umat manusia miskin], tepatnya pada tahun 1969-1970 dua orang Pastor
diantaranya P.Segundo Galileo .SJ dan P.Gustavo Guiterres.SJ membuat document
theology yang bernama Liberation Theology (Theology Pembebasan) di Nikaragua
dan Elsavador yang bertujuan agama harus menjadi spirit pembebasan dan
pembelaan bagi umat miskin yang tertindas, selang beberapa tahun kemudian di
Pakistan lahir pula konsep Theology Pembebasan Islam karya DR.Asghar Ali
Enginer, perdebatan bahwa theology pembebasan bukan hanya milik orang Katholik
memang benar bahwa agama dan kepercayaan manapun mempunyai hak untuk
menafsirkan suatu pembebasan sepanjang tidak merusak kaidah dan tafsir itu
sendiri. Tetapi fakta sejarah dua Imam Katholik tersebut adalah yang pertama
kali menggagas dan mempelopory lahirnya Theology Pembebasan.
Solidaritas agama akan kontradiksi sosial adalah agama
sebagai keyakinan juga mempunyai hak atau dan kewajiban untuk mendekatkan diri
lebih nyata dan kongkrit akan kebutuhan sosial umat manusia dalam mencari
peluang penyelesaian untuk wujud nyata akan keadilan, pemenuhan akan hak
sandang, pangan dan tempat tinggal secara demokratis dalam mewujudkan
masyarakat adil dan makmur, dan Agama harus mampu mencipatakan inovasi atau
temuan-temuan metoda dalam menyelesaikan konflik kemiskinan sehingga Agama
dapat kembali berperan sebagai fungsi rahmat, berkah, perlindungan bagi semua
umat manusia tanpa membedakan status sosialnya sehingga tidak akan terjadi lagi
konflik yang beberapa kali dilakukan dengan cara-cara kompetisi yang negatife.
[1] .Tidak semua Tarekat SJ di beberapa negara didunia mempunyai pemahaman atau konsep yang sama
dengan SJ yang berada di negara Amerika Latin dari beberapa artikel dan literature bahwa Tarekat SJ di
Amerika Latin menjadikan TP sebagai prinsip keimaman.
***